Minggu, 30 September 2012


DOA YANG SELALU DIKABULKAN (Helvy Tiana Rosa)

Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang mengisi seminar di IAIN
Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya duduk di bangku kedua dari depan sambil
menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang belum saya kenal.
Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan memperkenalkan ia yang baru
saja tiba. Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang lebih dulu merekah.
Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam balutan gamis biru dan jilbab
putih yang cukup panjang. Kami berjabat tangan erat, dan saat itu tegas
dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga yang dikenakan-nya) serta
sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi kaos kaki putih. Sesaat batin saya
hening, lalu melafazkan kalimat takbir
dan tasbih.
Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya bahagia karena
para peserta tampak antusias. Begitu
juga ketika giliran Mimin tiba. Semua memperhatikan dengan seksama apa yang
disampaikannya.
Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan retorika yang menarik. Wawasannya
luas,
pengamatannya akurat.
Saya tengah memandang wajah dengan pipi merah jambu itu saat Mimin
berkata dengan nada datar. “Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur
hidup saya.”
Ia tersenyum. “Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin banyak
orang akan pesimis mengha dapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya
telah memohon sesuatu pada Allah. Saya berdoa agar saat orang lain melihat
saya, tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali Allah,” Ia terdiam
sesaat
dan kembali tersenyum. “Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap saya. Itu
saja.”
Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. “Saya
kuliah di Fakultas Psikologi,” katanya seraya menambahkan bahwa
teman-teman
pria dan wanita di Universitas Islam Bandung-tempat kuliahnya itu-senantiasa
bergantian membantunya menaiki tangga bila kuliah diadakan di lantai dua
atau tiga. Bahkan mereka hafal jam datang serta jam mata kuliah yang
diikutinya. “Di antara mereka ada yang membawakan sebelah tongkat saya,
ada
yang memapah, ada juga yang menunggu di atas,” kenangnya.
Dan civitas academica yang lain? Menurut Mimin ia sering mendengar orang
menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya. “Mereka berkata: Ya Allah,
bisa
juga ya dia kuliah,” senyumnya mengembang lagi. “Saya bahagia karena
mereka
menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah,
keluarga, kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah, Allah
memang Maha Besar. Begitu kata mereka.”
Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia tak
pernah ber-mimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. “Kita tahu,
terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi seorang yang
cacat seperti saya. Ya tawakal saja.”
Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada seorang lelaki yang saleh,
mapan dan normal melamarnya. “Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar
banyak
orang menyebut-nyebut nama Allah dengan takjub.
Allah itu maha kuasa, ya.
Maha adil! Masya Allah, Alhamdulillah, dan
sebagainya,” ujarnya penuh
syukur. Saya memandang Mimin dalam. Menyelami
batinny a dengan mata
mengembun.
“Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu saya, bahkan orang yang
tak
men-genal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi mengagungkan asma Allah.
Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan agar saya tidak ke bidan,
melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimana pun saat seorang ibu melahirkan
otot-otot panggul dan kaki sangat berperan. Namun saya pasrah. Saya merasa
tak ada masalah dan yakin bila Allah berkehendak semua akan menjadi mudah.
Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu bidan,” pipi Mimin
memerah
kembali. “Semua orang melihat saya dan mereka mengingat Allah. Allahu
Akbar
,
Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang. “
Hening. Ia terdiam agak lama.
Mata saya basah, menyelami batin Mimin. Tiba-tiba saya merasa syukur saya
teramat dangkal dibandingkan nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap
seluruh keberadaan saya. Saya belum apa-apa. Yang selama ini telah saya
lakukan bukanlah apa-apa.
Astaghfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya duduk
sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya selama hidup saya, saya
menahan airmata di atas podium. Bisakah orang ingat pada Allah saat
memandang saya, seperti saat mereka memandang Mimin?
Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari panggung, pandangan saya
masih kabur. Juga saat seorang (dari dua) anaknya menghambur ke pelukannya.
Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara telapak tangan kanannya
berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya eperti melihat anak saya,
yang selalu bisa saya gendong kapan saya suka. Ya, Allah betapa banyak
kenikmatan yang Kau berikan padaku.
Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya dengan erat dan berkata betapa
dia men-cintai saya karena Allah, seperti ada suara menggema di seluruh
rongga jiwa saya. “Subhanallah, Maha besar Engkau ya Robbi, yang telah
memberi pelajaran pada saya dari pertemuan dengan hambaMu ini. Kekalkanlah
persaudaraan kami di Sabilillah. Selamanya. Amin.”
Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cinta saya pada
Sang Pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.
(“Pelangi Nurani“: Penerbit Asy Syaamil, 2002)
Have a positive day!
Salam Inspirasi,
“You create your own reality”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar