Minggu, 30 September 2012


Dari Rokok ke Jurang Narkoba

Seorang remaja bertubuh kurus duduk menunggu di emperan Puskesmas Tanah Abang, Jakarta Pusat, kemarin. Heri, nama anak itu, adalah pecandu narkoba. Ia sedang menanti giliran untuk mendapatkan metadon, sejenis heroin sintetis yang dikonsumsi pengguna narkoba sebagai pengganti putaw (heroin).
Remaja berumur 16 tahun itu mengaku frustasi tak bisa lepas dari putaw. Berkali-kali ia keluar masuk panti rehabilitasi. Hasilnya, Heri tetap tergantung pada heroin. Sejak tiga bulan lalu Heri menjalani terapi metadon di puskesmas itu. Metadon yang dikonsumsi dengan cara diminum itu diharapkan bisa mengurangi dampak negatif akibat pemakaian putaw. ”Gue sudah pake ganja sejak kelas satu SMP. Kelas dua SMP mulai make putaw,” cerita Heri.
Anak kedua dari tiga bersaudara itu mengaku memulai pakai narkoba dari merokok. Sejak kelas lima SD ia sudah mulai mengenal asap tembakau. ”Dari ngrokok itu gue kenal narkoba. Udah pake (narkoba, red),nggak bisa lepas sampe sekarang,” tutur Heri yang hanya sempat menamatkan bangku SMP.
Eko (17 tahun) yang ditemui di tempat sama, juga mengaku mulai mengenal narkoba dari rokok. Sejak umur 10 tahun Eko menghisap asap tembakau. Ia mulai dari mencoba rokok milik ayahnya yang memang ‘ahli hisap’. ”Awalnya sih sembunyi-sembunyi. Tapi, waktu SMP saya sudah berani terang-terangan, ” tuturnya.
Setahun merasakan asap rokok, jiwa muda Eko ingin menikmati petualangan yang lebih ‘menantang’. Sampai suatu hari teman sekolahnya mengenalkan dengan ganja. Tak sampai dua bulan mencoba ganja, Eko kemudian dikenalkan dengan putaw, juga oleh temah sekolahnya. ”Sejak itu hidup saya jadi tak karuan. Tiap hari maunya nyari putaw. Semua berantakan, sekolah berantakan. Hidup saya hancur,” tuturnya remaja yang tak lagi sekolah ini.
Pecandu narkoba lainnya yang ditemui di tempat yang sama, juga mengakui mengenal narkoba dari merokok. Sampai saat ini mereka pun masih tak bisa lepas dari asap tembakau. ”Saya nggak sadar, seperti masuk jalan tol. Ngrokok dulu, trus nyimeng (menghisap ganja), lalu nyuntik (memakai putaw dengan jalan suntik). Ujungnya bisa kena AIDS, mati,” kata Lina pecandu lainnya sambil nyengir.
Banyak remaja seperti Heri, Eko, dan Lina yang tak menyadari dari awal, rokok bisa menjerumuskan mereka menjadi junkies (sebutan untuk pecandu narkoba, red). Memang perokok tak otomatis menjadi pecandu, namun menurut mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Mohammad, penelitian para ahli sudah melihat kecenderungan ke arah itu.
Penelitian Universitas Columbia (2005-2007) mendapatkan hasil, remaja perokok 15 kali lebih besar kemungkinannya untuk memakai narkoba dibandingkan tidak mereka yang tidak merokok. ”Jadi merokok itu itu gerbang untuk jadi pecandu narkoba,” kata Kartono dalam seminar tentang bahaya rokok di Kwarnas Gerakan Pramuka Jakarta beberapa waktu lalu. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) pada tahun 2001, mendapati 60 persen pecandu narkoba memulai dengan merokok, lalu ganja. Penelitian itu dilakukan melalui wawancara dengan lebih dari 600 pecandu kronis.
Kartono menjelaskan, nikotin yang terkandung dalam rokok memicu reseptor adiktif di dalam otak. Makin banyak rokok dikonsumsi, membuat reseptor adiktif di otak makin banyak. Hal ini membuat ada perasaan kurang, dan ingin mengonsumsi lebih banyak. ”Akhirnya perokok akan mencoba bahan adiktif yang lebih kuat, yakni narkoba. Itulah yang menyebabkan banyak perokok yang kemudian memakai narkoba,” tuturnya.
Al Bachri Husin, Ketua Perhimpunan Dokter Seminat Adiksi Indonesia (PDASI) menambahkan, makin muda seseorang merokok makin mudah ia mengalami ketergantungan. ”Dampaknya akan makin susah untuk berhenti dari ketergantungan itu,” tutur Al Bachri yang juga psikiater itu.
Celakanya, kini anak muda yang menghisap rokok di Indonesia makin bertambah banyak. Data dari Global Youth Tobacco Survey WHO pada 2006 menyebutkan, tiga dari 10 pelajar SMP di Indonesia (30,9 persen) mulai merokok sebelum umur 10 tahun. Kini tak kurang dari 37,3 persen anak-anak usia 13 hingga 15 tahun sudah terpapar asap tembakau. Laju pertumbuhan remaja perokok di Indonesia diperkirakan mencapai 17,2 persen atau yang tercepat di dunia.
Sejalan dengan itu, jumlah pengguna narkoba juga makin membludak. Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan pada tahun 2006 jumlah pemadat mencapai 3,6 juta orang. Kebanyakan mereka berusia 15-25 tahun. Masalah rokok dan narkoba makin berkelindan. Daya rusak rokok sudah diketahui secara luas dapat memicu kanker dan kematian. Tak kurang 5,4 juta orang mati karena rokok pada tahun 2006. Sedangkan narkoba, tidak hanya berdampak pada kesehatan, juga menimbulkan berbagai persoalan sosial dan ekonomi. Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata dalam satu kesempatan menyatakan sebanyak 70 persen napi lembaga kemasyarakatan saat ini terkait dengan kasus narkoba. Narkoba, kini juga jadi penyumbang terbesar kasus HIV/AIDS.
Perlu keseriusan
Tingginya perokok di kalangan remaja, menurut Fuad Baraja dari Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), karena mereka memang menjadi target promosi. Produsen rokok sangat berkepentingan untuk menggaet anak muda. Alasannya, pertama, produsen rokok perlu regenerasi perokok yang sudah mati. Kedua, dengan perokok yang masih muda, akan memperpanjang durasi pemakaian merokok. Terakhir, adalah soal loyalitas. ”Biasanya perokok akan loyal pada merek pertama yang dia hisap,” kata Fuad yang juga bintang sinetron.
Fuad juga menyoal gencarnya iklan rokok di televisi. Hingga kini tidak ada pengaturan mengenai tayangan iklan rokok di layar kaca. Pemutaran film anak-anak di TV dilakukan pada jam tayang iklan rokok. ”Di seluruh dunia, iklan rokok di TV hanya ada di Indonesia,” ungkap Fuad. Efek rokok tidak terjadi seketika. Inilah yang sering tidak disadari para remaja. Remaja menurut Fuad, tidak tahu bahwa merokok itu adalah perilaku berisiko yang bisa membawa mereka ke jurang narkoba.
Sayangnya, pemerintah seperti menganggap masalah ini ‘angin lalu. Pemerintah, tutur Fuad, tidak memberikan edukasi yang cukup tentang bahaya merokok. Hingga kini, pemerintah Indonesia juga menjadi satu-satunya negara di Asia yang tidak meratifikasi Konvensi Kerangka Pengawasan Tembakau (Framework Convention Tobacco Control atau FCTC).
Inti dari dari konvensi FCTC adalah mengatur sistem secara berkala untuk menurunkan kadar nikotin dalam rokok. Caranya dengan menaikkan cukai rokok dan membatasi area bebas rokok. Dengan cara ini diharapkan populasi konsumen rokok akan terpangkas. ”Pemerintah hanya menganggap rokok itu sumber devisa, bukan bencana,” cetus Fuad mengeritik.
Al Bachri yang juga mengelola pusat rehabilitasi pecandu narkoba, mengusulkan agar pengetahuan mengenai bahaya merokok diberikan kepada remaja melalui sekolah. Selama ini para remaja tidak cukup mendapat informasi mengenai bahaya merokok. ”Berikan pendidikan tentang bahaya merokok secara jelas dengan bukti-bukti akibatnya. Jangan menakut-nakuti, ” sarannya.
Fuad menambahkan cara terbaik untuk menghindarkan konsumsi rokok adalah tidak memulainya. Dalam hal itu peran orang tua, guru, dan artis yang menjadi biasanya menjadi panutan remaja, sangat besar. Ia menyarankan agar mereka tidak merokok di depan anak-anak. ”Usahakan berhenti, kalau tidak bisa, minimal jangan merokok di depan anak-anak.”
Kartono mengingatkan, masalah rokok di kalangan remaja Indonesia menjadi ancaman sangat serius di masa mendatang. Semua pihak menurutnya harus bekerja sama mengatasi masalah ini. ”Jika kita tidak serius mengatasinya, dua puluh tahun mendatang generasi kita akan menjadi generasi yang terendah di dunia. Bangsa kita akan jadi bangsa yang dikendalikan bangsa lain,” kata Kartono memperingatkan. sbt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar