Mengubur Tradisi Tawuran Pelajar
Pertengahan September lalu dunia pendidikan Indonesia kembali dihebohkan dengan tewasnya satu pelajar akibat tawuran. Tawuran pelajar SMAN 70 dengan SMAN 6 berujung kematian Alawy Lusianto Putra. Nyawa seorang penerus bangsa harus sia-sia ditangan sesama pelajar sendiri. Ini bukan kali pertama dalam catatan kelam dunia pendidikan tanah air. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh tampak geram dan memerintahkan agar sekolah mengeluarkan siswa yang hobi tawuran.
Namun demikian, jika kebijakan itu menjadi regulasi, apakah tawuran dikalangan pelajar yang sudah mentradisi ini bisa benar-benar berhenti dan menjawab persoalan? Apakah pemerintah sudah kehabisan solusi untuk bagaimana menyelamatkan pelajar tanpa harus membuangnya dari haknya untuk memperoleh pendidikan yang diamanatkan UUD 1945. Lalu apa sebenarnya yang menjadi akar masalah dan bagaimana solusinya? Tulisan ini mencoba menganalisa dan menjawab pertanyaan tersebut.
Hemat penulis, ada beberapa faktor yang menjadikan liarnya pelajar dan mengakibatkan banyak kasus kekerasan baik ketika masa orientasi sekolah dengan dalih senioritas maupun tawuran atas nama gengsi. Pertama, minimnya keteladanan. Hipotesis ini bukan tanpa alasan, mengingat seorang guru tugasnya tidak hanya mentransfer ilmu namun juga suri tauladan atau dalam istilah jawa Guru itu digugu lan ditiru. Jika guru hanya sebatas mentransfer ilmu dan tidak tahu problem siswa, jauh secara emosional dan cenderung hanya mendongkrak nilai siswa, maka out-put yang dihasilkan kurang maksimal. Untuk hal ini, bisa kita belajar pada sistem pendidikan tertua di Indonesia, yaitu Pondok Pesantren. Disana, selain mentransfer ilmu guru atau kyai juga menjadi teladan bagi santri-santrinya.
Kedua, faktor agama. Kita akui saja, sistem pendidikan kita masih mementingkan pelajaran eksak dan menomorduakan agama. Indikator keberhasilan masih sebatas nilai mata pelajaran, belakangan digagas model pendidikan karakter walau belum sepenuhnya berhasil. Ironis memang, negeri yang dasar Ideologinya pertama menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tingkat pengamalan agama yang cukup kuat, hanya sedikit sekali memberi porsi pada mata pelajaran agama. Ini menjadi penting untuk dibenahi mengingat agama adalah benteng terakhir moral bangsa ini.
Ketiga, kurangnya ruang ekspresi. Masa muda adalah masa di mana pencarian jadi diri dilakukan untuk menemukan identitasnya. Organisasi dan kegiatan yang ada di sekolah belum bisa mewadahi ruang gerak pelajar. Untuk itu, pemerintah seharusnya memberi dukungan lebih terhadap organisasi-organisasi kepemudaan karena disanalah bakat, potensi dan hasrat pemuda disalurkan melalui pembinaan, pelatihan dan bersama-sama dengan orang yang tidak sama.
Khusus untuk yang ketiga ini, sebagaimana kita tahu, menjadi problem yang sudah cukup krusial. Apa pasal? Ditengah gempuran teknologi modern yang serba canggih, ruang batin antar generasi menjadi jauh. Game-game, internet, televisi, handphone dan sjenisnya, selain mendekatkan yang jauh juga menjauhkan yang dekat. Pribadi pelajar menjadi individualis dan cenderung kurang tanggap dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini berdampak pada lesunya organisasi kepemudaan di berbagai daerah dan bahkan hanya beberapa saja yang aktif. Jika ini dihidupkan kembali, minimal akan sedikit memberi proteksi pengaruh negativ modernisasi.
Kelima, yang tak kalah penting, adalah minimnya perhatian tokoh masyarakat terhadap pembinaan pelajar dan pemuda pada umumnya. Selain karena sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, mereka rata-rata juga menomorduakan peran pelajar dan pemuda, masih dianggap ingusan dan sebagainya. Padahal, generasi muda merupakan pewaris sah masa depan suatu masyarakat bahkan bangsa. Selain itu, banyaknya persoalan negeri ini mulai dari politik, sosial dan ekonomi yang tak kunjung usai juga menghabiskan energi "kaum tua" dan tokoh masyarakat sehingga waktu untuk membina dan mengarahkan pelajar dan pemuda cenderung terbatas. Jika kelima hal ini diperhatikan, tradisi tawuran dan kenakalan remaja minimal akan menurun, syukur-syukur bisa terkubur.
Untuk itu, marilah semua pihak untuk lebih memperhatikan pelajar dan pemuda mengingat mereka adalah harapan masa depan bangsa. Dalam istilah arab, kita mengenal "Shubbanul yaum, rijalul ghad", pelajar dan pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan. Nasib Indonesia 30 sampai 50 tahun mendatang, bisa dilihat dari kualitas dan peran serta pelajar hari ini. Jika regenerasi kepemimpinan, keteladanan dan nilai-nilai luhur baik secara formal maupun non-formal dari "orang tua" tidak diwariskan kepada pelajar dan pemuda hari ini, tentu amat sangat mengkhawatirkan.
Di tengah kasus korupsi, suksesi kepemimpinan, percemaran agama, terorisme dan himpitan ekonomi yang semakin sulit dengan merebaknya perusahaan dan produk-produk asing di negeri ini, seyogyanya masalah kaderisasi dan regenerasi tetap mendapat perhatian dari semua kalangan. Memang berat, karena mengurus pelajar dan pemuda adalah seperti mengendarai mobil yang kehabisan kampas rem. Semangat pemuda yang menggebu-gebu dan cenderung semaunya sendiri, butuh kesabaran dan keuletan untuk merangkul dan membinanya. Namun demikian, hal ini mutlak dilakukan mengingat apa yang dibangun hari ini toh untuk masa depan mereka. Jika "orang tua" hari ini tak peduli lagi, lantas siapa lagi yang akan mengurus mereka?
Namun demikian, jika kebijakan itu menjadi regulasi, apakah tawuran dikalangan pelajar yang sudah mentradisi ini bisa benar-benar berhenti dan menjawab persoalan? Apakah pemerintah sudah kehabisan solusi untuk bagaimana menyelamatkan pelajar tanpa harus membuangnya dari haknya untuk memperoleh pendidikan yang diamanatkan UUD 1945. Lalu apa sebenarnya yang menjadi akar masalah dan bagaimana solusinya? Tulisan ini mencoba menganalisa dan menjawab pertanyaan tersebut.
Hemat penulis, ada beberapa faktor yang menjadikan liarnya pelajar dan mengakibatkan banyak kasus kekerasan baik ketika masa orientasi sekolah dengan dalih senioritas maupun tawuran atas nama gengsi. Pertama, minimnya keteladanan. Hipotesis ini bukan tanpa alasan, mengingat seorang guru tugasnya tidak hanya mentransfer ilmu namun juga suri tauladan atau dalam istilah jawa Guru itu digugu lan ditiru. Jika guru hanya sebatas mentransfer ilmu dan tidak tahu problem siswa, jauh secara emosional dan cenderung hanya mendongkrak nilai siswa, maka out-put yang dihasilkan kurang maksimal. Untuk hal ini, bisa kita belajar pada sistem pendidikan tertua di Indonesia, yaitu Pondok Pesantren. Disana, selain mentransfer ilmu guru atau kyai juga menjadi teladan bagi santri-santrinya.
Kedua, faktor agama. Kita akui saja, sistem pendidikan kita masih mementingkan pelajaran eksak dan menomorduakan agama. Indikator keberhasilan masih sebatas nilai mata pelajaran, belakangan digagas model pendidikan karakter walau belum sepenuhnya berhasil. Ironis memang, negeri yang dasar Ideologinya pertama menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tingkat pengamalan agama yang cukup kuat, hanya sedikit sekali memberi porsi pada mata pelajaran agama. Ini menjadi penting untuk dibenahi mengingat agama adalah benteng terakhir moral bangsa ini.
Ketiga, kurangnya ruang ekspresi. Masa muda adalah masa di mana pencarian jadi diri dilakukan untuk menemukan identitasnya. Organisasi dan kegiatan yang ada di sekolah belum bisa mewadahi ruang gerak pelajar. Untuk itu, pemerintah seharusnya memberi dukungan lebih terhadap organisasi-organisasi kepemudaan karena disanalah bakat, potensi dan hasrat pemuda disalurkan melalui pembinaan, pelatihan dan bersama-sama dengan orang yang tidak sama.
Khusus untuk yang ketiga ini, sebagaimana kita tahu, menjadi problem yang sudah cukup krusial. Apa pasal? Ditengah gempuran teknologi modern yang serba canggih, ruang batin antar generasi menjadi jauh. Game-game, internet, televisi, handphone dan sjenisnya, selain mendekatkan yang jauh juga menjauhkan yang dekat. Pribadi pelajar menjadi individualis dan cenderung kurang tanggap dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini berdampak pada lesunya organisasi kepemudaan di berbagai daerah dan bahkan hanya beberapa saja yang aktif. Jika ini dihidupkan kembali, minimal akan sedikit memberi proteksi pengaruh negativ modernisasi.
Kelima, yang tak kalah penting, adalah minimnya perhatian tokoh masyarakat terhadap pembinaan pelajar dan pemuda pada umumnya. Selain karena sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, mereka rata-rata juga menomorduakan peran pelajar dan pemuda, masih dianggap ingusan dan sebagainya. Padahal, generasi muda merupakan pewaris sah masa depan suatu masyarakat bahkan bangsa. Selain itu, banyaknya persoalan negeri ini mulai dari politik, sosial dan ekonomi yang tak kunjung usai juga menghabiskan energi "kaum tua" dan tokoh masyarakat sehingga waktu untuk membina dan mengarahkan pelajar dan pemuda cenderung terbatas. Jika kelima hal ini diperhatikan, tradisi tawuran dan kenakalan remaja minimal akan menurun, syukur-syukur bisa terkubur.
Untuk itu, marilah semua pihak untuk lebih memperhatikan pelajar dan pemuda mengingat mereka adalah harapan masa depan bangsa. Dalam istilah arab, kita mengenal "Shubbanul yaum, rijalul ghad", pelajar dan pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan. Nasib Indonesia 30 sampai 50 tahun mendatang, bisa dilihat dari kualitas dan peran serta pelajar hari ini. Jika regenerasi kepemimpinan, keteladanan dan nilai-nilai luhur baik secara formal maupun non-formal dari "orang tua" tidak diwariskan kepada pelajar dan pemuda hari ini, tentu amat sangat mengkhawatirkan.
Di tengah kasus korupsi, suksesi kepemimpinan, percemaran agama, terorisme dan himpitan ekonomi yang semakin sulit dengan merebaknya perusahaan dan produk-produk asing di negeri ini, seyogyanya masalah kaderisasi dan regenerasi tetap mendapat perhatian dari semua kalangan. Memang berat, karena mengurus pelajar dan pemuda adalah seperti mengendarai mobil yang kehabisan kampas rem. Semangat pemuda yang menggebu-gebu dan cenderung semaunya sendiri, butuh kesabaran dan keuletan untuk merangkul dan membinanya. Namun demikian, hal ini mutlak dilakukan mengingat apa yang dibangun hari ini toh untuk masa depan mereka. Jika "orang tua" hari ini tak peduli lagi, lantas siapa lagi yang akan mengurus mereka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar